Selasa, 21 Oktober 2014

KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR FILSAFAT

Nuraida Lutfi Hastuti, NIM 11301241031
Prodi Pendidikan Matematika
FMIPA UNY



Mahasiswa merupakan pembelajar yang dituntut untuk lebih mandiri daripada siswa di sekolah. Hal tersebut yang selalu ditekankan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. selaku pengampu mata kuliah Filsafat di Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA, UNY. Pada pertemuan hari Rabu, 15 Oktober 2014 beliau kembali memaparkan tentang kemandirian mahasiswa yang diperlukan dalam belajar terutama dalam belajar filsafat. Tulisan ini merupakan refleksi dari penulis yang terinspirasi dari kuliah Filsafat pada pertemuan hari itu.
Pada pertemuan sebelumnya Bapak Marsigit telah menerangkan bahwa belajar filsafat itu tidak perlu gengsi. Belajar filsafat tidak perlu susah-susah mencari buku-buku yang tebal atau buku yang terasa berat dibaca. Hal tersebut karena beliau telah menyediakan media pembelajaran yang lebih ringan untuk belajar filsafat bagi mahasiswa yaitu melalui tulisan-tulisan beliau di blog (internet). Bapak Marsigit telah memberikan kemudahan. Kemudian tinggal kesadaran mahasiswa untuk aktif mencari ilmu dengan membaca tulisan-tulisan beliau. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam belajar filsafat diperlukan kemandirian mahasiswa itu sendiri.
Setelah mahasiswa membaca suatu tulisan (elegi), tentunya mahasiswa tidak langsung paham tetapi kemungkinan ada hal-hal yang belum dipahami. Hal tersebut menimbulkan keingintahuan mahasiswa sehingga memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan itu dapat diketahui bahwa mahasiswa telah berikhtiar untuk mencari ilmu sendiri. Kemudian untuk mendapat jawaban, mahasiswa dapat membaca kembali tulisan Bapak Marsigit atau ditanyakan langsung kepada beliau ketika perkuliahan. Bapak Marsigit menghimbau agar pertanyaan-pertanyaan yang muncul merupakan pertanyaan yang layak untuk ditanyakan. Mahasiswa sebaiknya tidak sembarangan membuat pertanyaan karena pertanyaan bisa saja salah.
Pada pertemuan hari itu, ada sebuah pertanyaan dari mahasiswa yaitu “mengapa ada dan tiada itu ada”. Bapak Marsigit mengatakan bahwa pertanyaan tersebut lebih tepat jika bunyinya “mengapa tiada itu ada?”. Setelah itu beliau menjawab pertanyaan dengan contoh yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh tersebut yaitu ketika kita diundang untuk menghadiri sebuah acara tetapi ternyata kita tidak bisa datang. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa kita tidak ada di acara tersebut tetapi sebenarnya kita ada di rumah atau di tempat lain. Dalam filsafat, tiada itu ada. Ketika kita tidak ada sebenarnya kita ada tetapi berbeda ruang dan waktu.
Selain itu, ada pertanyaan “siapa dirimu?”. Bapak Marsigit menjelaskan bahwa diri sendiri belum tentu memahami diri sendiri apalagi orang lain. Selanjutnya persoalan dalam filsafat sesungguhnya ada dua. Pertama, bagaimana kita memahami filsafat itu sendiri maupun hal lain. Kedua, kita memiliki sesuatu dalam pikiran kemudian bagaimana kita menjelaskan hal tersebut kepada orang lain.
Pertanyaan lain yaitu “Apakah filsafat cocok untuk anak-anak?”. Bapak Marsigit menerangkan bahwa filsafat tidak cocok untuk anak-anak. Hal yang cocok untuk anak-anak yaitu hasil dari filsafat atau kebijakan bagi anak-anak. Mahasiswa harus dapat berpikir lebih luas dan menyeluruh.
Bapak Marsigit menekankan bahwa dalam belajar filsafat, mahasiswa tidak bisa mengharapkan ceramah langsung dari beliau. Mahasiswa harus membaca terlebih dahulu kemudian dalam pertemuan pada perkuliahan, mahasiswa dan Bapak Marsigit saling bertukar pikiran. Mahasiswa mencari sendiri dan memperoleh pemahamannya sendiri. Hal tersebut dikarenakan filsafat itu berada dalam diri mahasiswa itu sendiri. 
Selanjutnya masih ada beberapa pertanyaan lagi dari mahasiswa kemudian dijawab dan dijelaskan oleh Bapak Marsigit. Dari perkuliahan hari itu, hal yang penting dalam belajar filsafat yaitu memperoleh pengetahuan sendiri dari membaca dan memunculkan pertanyaan. Setelah itu, perlu ada proses bertukar pikiran dengan orang yang sudah ahli. Penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam belajar filsafat diperlukan kemandirian mahasiswa itu sendiri. Hal tersebut merupakan wujud ikhtiar dalam mencari ilmu karena sebenarnya filsafat itu ada dalam diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar