Selasa, 11 Maret 2014

BERMAIN MATEMATIKA MELALUI CONGKLAK (DAKON)



Oleh Nuraida Lutfi Hastuti, NIM 11301241031
Prodi Pendidikan Matematika, FMIPA UNY

LANDASAN TEORI
A.    Matematika
Matematika secara etimologi berasal dari bahasa latin manthanein atau mathemata yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Menurut Steen dalam Presmeg (1998) matematika merupakan ilmu yang memiliki pola dan urutan dengan ruang lingkup yang luas dan mempertimbangkan abstraksi dan generalisasi. Menurut Prof. Dr. Andi Hakim Nasution (http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-matematika-menurut-ahli.html), matematika adalah ilmu struktur, urutan (order), dan hubungan yang meliputi dasar-dasar perhitungan, pengukuran, dan penggambaran bentuk objek. Susilo mengatakan bahwa matematika bukanlah sekedar kumpulan angka, simbol, dan rumus yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata. Justru sebaliknya, matematika tumbuh dan berakar dari dunia nyata.
Menurut Gates & Vistro dalam Thomas Varghese & Daniel P. (2006) konsep matematika adalah refleksi dari budaya dan sosial ekonomi dari suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, matematika merupakan ilmu yang terstruktur dan tidak jauh dari realitas  kehidupan maupun budaya manusia.

B.     Pembelajaran Matematika
Matematika umumnya dipelajari oleh siswa di sekolah sebagai suatu mata pelajaran. Hal yang demikian merupakan pembelajaran matematika secara formal. Dalam pembelajaran matematika di sekolah, siswa belajar mengenai konsep matematika. Pembelajaran tersebut lebih tertuju pada penggunaan rumus matematika dan operasi hitung. Sedangkan penerapan konsep dan rumus matematika dalam kehidupan sehari-hari masih kurang. Oleh karena itu, matematika menjadi sulit dipelajari karena siswa tidak dapat mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-harinya.
Selain pembelajaran matematika formal terdapat permbelajaran matematika informal. Matematika informal dapat diartikan sebagai praktik matematika secara informal yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat tanpa batasan sejarah dan geografis namun erat kaitannya dengan budaya (http://en. wikipedia.org/wiki/Informal_mathematics). Dengan demikian, pembelajaran matematika informal merupakan praktik dari matematika yang terdapat dalam kehidupan nyata dan budaya masyarakat.
D’Ambrosio dalam Thomas Varghese & Daniel P. (2006) menyatakan bahwa anak-anak memperoleh pengetahuan matematika dari budaya mereka sejak usia muda. Namun, ketika mereka mulai bersekolah, pengetahuan tersebut digantikan oleh pengetahuan sekolah yang lebih bernilai dengan adanya sistem. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara pembelajaran matematika informal dan pembelajaran matematika formal. Dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak terlepas dari matematika misalnya penggunaan operasi hitung. Pengalaman dan pengetahuan matematika siswa dalam kehidupan sehari-hari merupakan matematika informal. Hal tersebut menjadi bekal ketika siswa berada di sekolah dalam pembelajaran matematika formal. Oleh karena itu, diperlukan penghubung antara pembelajaran matematika informal dengan matematika formal.

C.    Etnomatematika
Istilah etnomatematika pertama kali digunakan pada tahun 1930-an yang mencerminkan perubahan konsepsi umat manusia dalam antropologi dan disiplin ilmu lainnya (Swapna Mukhopadhyay & Brian Greer). Gerakan etnomatematika dimulai dengan pembentukan International Study Group on Ethnomathematics pada tahun 1985 pada pertemuan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) di San Antonio, Texas di bawah pimpinan pendirinya yaitu seorang matematikawan dan filosof, Dr. Ubiratan D’Ambroiso. Istilah etnomatematika digunakan oleh D’Ambroiso dalam banyak tulisan dan pidatonya untuk menjelaskan adanya hubungan antara praktik budaya dalam kaitannya dengan pengembangan dan penggunaan ide atau konsep matematika (Eduardo Jesus Arismendi-Pardi, 2001).
Menurut Gates & Vistro dalam Thomas Varghese & Daniel P. (2006) ide etnomatematika dikembangkan untuk menggabungkan pandangan yang lebih luas tentang matematika yang berkaitan dengan dunia nyata. John dalam Mohammed W. Z. & Ibrahim S. (2010) menyatakan bahwa etnomatematika merupakan studi teknik matematika dengan menggunakan identifikasi kelompok budaya dalam pemahaman, penjelasan, dan pengelolaan masalah yang timbul dari diri mereka sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etnomatematika merupakan kajian budaya untuk mengidentifikasi unsur-unsur matematika yang terdapat dalam budaya tersebut yang dapat digunakan dalam pendidikan atau pembelajaran matematika.
Etnomatematika mengacu pada bentuk pengetahuan budaya atau karakteristik kegiatan sosial atau budaya yang dapat diakui oleh kelompok lain (Louis dalam Mohammed W. Z. & Ibrahim S., 2010 ). Dalam hal ini, budaya setiap masyarakat di suatu tempat berbeda dengan budaya masyarakat lain namun tetap diakui. Hal-hal yang termasuk ke dalam budaya yaitu bahasa daerah, cara berpikir masyarakat, karya sastra, adat istiadat, peninggalan atau artefak, dan permainan tradisional. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammed W. Z. & Ibrahim S. pada tahun 2010 dengan judul Ethnomathematics (A Mathematical Game in Hausa Culture) menunjukkan bahwa dalam budaya Hausa dari Nigeria Utara terdapat permainan yang mengandung unsur matematika.
Dalam penelitian ini penulis mengambil salah satu contoh permainan tradisional yaitu permainan Congklak (Dakon) karena merupakan bagian budaya yang dapat penulis temukan dalam budaya daerah penulis yaitu dari budaya Jawa.

D.    Permainan Congklak (Dakon)
Dakon seperti yang dijelaskan oleh Murray (1952), Deledicq & Popova (1977), dan Russ (2000) dikenal sebagai Sungka di Filipina, Conka/Congka/Congklak di Indonesia (http://www.fdg.unimaas.nl/educ/donkers/games/Dakon/). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Dakon merupakan bagian dari kelompok besar permainan mancala yang dimainkan di Asia Tenggara.
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt dalam makalah yang berjudul Mancala Games – Topics in Mathematics and Artificial Intelegence mengatakan bahwa permainan mancala merupakan permainan yang menggunakan papan yang dimainkan hampir di seluruh dunia dengan berbagai variasi. Beberapa permainan yang termasuk ke dalam permainan mancala yaitu Tchoukailalon, Tchuka Ruma, Dakon, Bao, Kalah, dan Awari (lebih detilnya dapat dilihat di buku Murray (1952) dan Russ (2000)).
Dakon dimainkan oleh dua orang dengan papan yang memiliki 8 lubang (1 lubang utama dan 7 lubang kecil) untuk masing-masing pemain dan berisi batu atau benda kecil. Permainan ini terdiri dari beberapa babak. Permainan dilakukan dengan mengisi lubang dengan batu satu per satu. Jika pemain tidak dapat mengisi lubang lagi maka berganti giliran dengan pemain lain. Permainan berakhir ketika sudah tidak ada batu pada lubang kecil. Pemenangnya adalah pemain yang memiliki batu lebih banyak.
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt menemukan bahwa permainan dakon dapat ditemukan solusinya dengan menggunakan komputer (Donkers dalam Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat algoritma dan perhitungan matematis untuk mengetahui urutan permainan dakon dan dapat dianalisis cara pemain menentukan urutan.
Dalam Wikipedia Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Congklak) disebutkan bahwa permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lobang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kanannya dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya. Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya. Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa. Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat dimabil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang mendapatkan biji terbanyak.

E.     Daftar Pustaka
Anonim. Congklak. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Congklak pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 07. 55 WIB.
_______. (2013). Informal Mathematics. Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Informal_mathematics pada tanggal 4 Maret 2013, pukul 21.50 WIB. 
_______. (2014). Pengertian Matematika Menurut Ahli. Diakses dari http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-matematika-menurut-ahli.html pada tanggal 4 Maret 2014, pukul 22.00 WIB.
Eduardo Jesus Arismendi-Pardi. (2001). Ethnomathematics: An Alternative Approach to The Practice of Teaching and Learning. Makalah. Washington.
Jeroen Donkers. Dakon. Diakses dari http://www.fdg.unimaas.nl/educ/ donkers/games/Dakon/ pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 07.00 WIB.
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt. Mancala Games – Topics in Mathematics and Artificial Intelegence. http://www.academia.edu/ 2543117/Mancala_games__Topics_in_Mathemathics_and_Artificial_Intelligence?login=&email_was_taken=true pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 07.10 WIB.
Mohammed W. Y. & Ibrahim S. (2010). Ethnomathematics (A Mathematical Game in Hausa Culture). International Journal of Mathematical Science Education. Vol. 3, No. 1. Hlm. 36-42.
Norma C. Presmeg. (1998). Ethnomathematics in Teache Education. Journal of Mathematics Teacher Education. 1. Hlm. 317-339.
Swapna Mukhopadhyay & Brian Greer. Can Ethnomathematics Enrich Mathematics Education?. Prosiding, epiSTEME 5. India.
Thomas Varghese & Daniel P. (2006). On Globalization and Ethnomathematics. Canadian and International Education/Education canadienne et internationale. Hlm. 1-11.

Senin, 03 Maret 2014

BERMAIN MATEMATIKA MELALUI CONGKLAK (DAKON)



Oleh Nuraida Lutfi Hastuti, NIM 11301241031
Prodi Pendidikan Matematika, FMIPA UNY

Masa kecil tidak terlepas dari aktivitas bermain. Bermain kerjar-kejaran, petak umpet, dan sebagainya. Permainan tersebut masih bersifat tradisional dan merupakan aktivitas fisik. Selain itu, bermain dapat dilakukan tanpa menggunakan fisik yaitu dengan menggunakan alat. Salah satunya adalah permainan congklak.
Congklak merupakan permainan tradisional yang dikenal dengan berbagai macam nama di seluruh Indonesia. Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Sedangkan di beberapa daerah di Sumatera yang berkebudayaan Melayu, permainan ini dikenal dengan nama congkak. Di Lampung permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata.
Menurut sejarah permainan ini pertama kali dibawa oleh pendatang dari Arab yang rata-rata datang ke Indonesia untuk berdagang atau dakwah. Pada umumnya jumlah lubang keseluruhan adalah 16, yang dibagi menjadi tujuh lubang kecil dan satu lubang tujuan untuk masing-masing pemain. Lubang tujuan merupakan lubang terkiri (biasanya diameternya lebih besar). Skor kemenangan ditentukan dari jumlah biji yang terdapat pada lubang tujuan tersebut.

Aturan Umum Permainan
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lobang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kanannya dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya. Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya. Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa. Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat dimabil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang mendapatkan biji terbanyak.

Unsur Matematika dalam Permainan
Bermain congklak tidak hanya sekedar mengambil biji dan menjatuhkan satu demi satu ke dalam lubang secara asal. Namun, dalam permainan ini diperlukan strategi agar biji yang terakhir jatuh pada lubang yang tepat sehingga dapat mengambil biji lawan. Masing-masing pemain perlu memperhitungkan biji dalam lubang yang dipilih.
Permainan congklak dapat melatih kemampuan berhitung. Meletakkan biji ke dalam lubang yang ditentukan dengan jumlah yang sama merupakan contoh dari operasi pembagian. Sesuai aturan umum yang disebutkan di atas, jika tersedia 98 biji maka akan dibagi ke dalam 7 lubang kecil milik pemain pertama dan 7 lubang kecil milik pemain kedua serta masing-masing lubang kecil berisi 7 biji. Jika kesepakan kedua pemain ingin menggunakan 8 lubang kecil untuk tiap pemain yang berisi 5 biji maka untuk mengetahui jumlah biji yang diperlukan dapat digunakan perkalian yaitu 8 x 2 x 5 = 80 biji. Hal tersebut melatih kemampuan dalam operasi perkalian. Operasi penjumlahan dan pengurangan juga tidak terlepas dari permainan ini. Ketika salah satu pemain mendapat biji dari lubang pemain lain maka dia akan menjumlahkan dengan biji miliknya. Sedangkan pemain lainnya akan mengurangkan biji yang diambil tersebut dari biji yang dia miliki. Selain itu, melalui permainan ini dapat mengajarkan pemain untuk menentukan peluang keberhasilan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa permainan congklak memiliki unsur matematika di dalamnya. Congklak merupakan permainan tradisional juga merupakan bagian dari budaya daerah.  Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam budaya memiliki unsur atau nilai-nilai matematika. Oleh karena itu, matematika berada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan dapat dipelajari melalui pendekatan budaya atau etnomatematika.

Sumber:

BERKENALAN DAN BERDAMPINGAN DENGAN ETNOMATEMATIKA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA



Oleh Nuraida Lutfi Hastuti, NIM 11301241031
Prodi Pendidikan Matematika, FMIPA, UNY

Etnomatematika merupakan salah satu Mata Kuliah Pilihan untuk Prodi Pendidikan Matematika Subsidi 2011 pada semester 6. Saat ini, dosen pengampu mata kuliah tersebut adalah Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Sebelum perkuliahan Etnomatematika berlangsung, penulis belum memiliki gambaran mengenai hal-hal yang akan dipelajari. Istilah etnomatematika pun masih asing bagi penulis. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan rasa ingin tahu dan tekad penulis untuk mengikuti perkuliahan dan mempelajari Mata Kuliah Pilihan ini.
Perkuliahan perdana Etnomatematika telah terlaksana pada hari Kamis, 13 Februari 2014 lalu. Prof. Dr. Marsigit, M.A. menguraikan tentang pengantar etnomatematika dalam perkuliahan tersebut. Saat itu menjadi awal mula perkenalan penulis dengan etnomatematika.
Menurut bahasa, kata etnomatematika terdiri dari dua kata yaitu etno dan matematika. Etno berasal dari sebuah kata yaitu etnik. Etnik dapat diartikan sebagai suatu konteks budaya dalam masyarakat tertentu. Sedangkan matematika merupakan suatu ilmu.
Prof. Dr. Marsigit, M.A. menjelaskan bahwa etnomatematika berkaitan dengan etnik. Sedangkan etnik itu sendiri identik dengan suku. Etnik memiliki sifat unik atau tidak universal sehingga etnik memiliki ciri khas tertentu. Etnik memiliki pembeda dan merupakan fakta dalam kehidupan nyata. Pembeda tersebut akan menimbulkan kebiasaan dan hasil. Kebiasaan dan hasil itu yang selanjutnya akan membentuk budaya atau kultur suatu masyarakat.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Marsigit, M.A. menerangkan bahwa etnomatematika dapat berada dalam ranah pendidikan khususnya pendidikan matematika. Posisi etnomatematika dalam pendidikan matematika yaitu berkaitan dengan budaya atau sistem. Sedangkan matematika murni dapat terbebas dari nilai sehingga kurang berkaitan dengan budaya.
Etnomatematika memiliki dua unsur pembentuk yaitu skema dan isi. Skema adalah wadah (tempat) atau wujud. Isi merupakan kerangka berpikir, ide-ide, atau teori. Kerangka berpikir, ide-ide, atau teori perlu suatu wadah agar dapat terwujud. Skema dan isi tersebut akan menjadi penentu mengenai kebermaknaan (meaningfull) atau ketidakbermaknaan (meaningless). Oleh karena itu, skema dan isi merupakan unsur yang saling berkaitan dan penting dalam etnomatematika.
Prof. Dr. Marsigit, M.A. menyampaikan bahwa etnomatematika lebih tertuju pada penelitian atau research of mathematics. Etnomatematika pertama kali muncul di Eropa Barat dan telah berkembang di sana. Sedangkan di Indonesia perkembangan etnomatematika masih sedikit. Padahal potensi di Indonesia cukup memadai dari segi budaya khususnya etnik atau suku yang beraneka ragam. Oleh karena itu, hal yang perlu ditingkatkan di Indonesia yaitu penelitian matematika melalui etnomatematika.
Melihat keadaan di Indonesia yaitu terjadi ketimpangan unsur dalam etnomatematika. Di antara skema dan isi, lebih dipentingkan skema. Misalnya dalam dunia pendidikan yaitu kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru. Kegiatan mengajar dapat disebut sebagai skema. Dalam kegiatan mengajar, terdapat pedoman atau aturan pelaksanaan maupun berdasarkan perintah. Namun, pada kenyataannya guru hanya sekedar melaksanakan kegiatan mengajar atau menjalankan perintah tanpa memperhatikan tujuan dan makna kegiatan mengajar khususnya kebermanfaatan bagi siswa. Hal tersebut menyebabkan ketidakbermaknaan (meaningless). 
Ketimpangan dalam etnomatematika yang terjadi di Indonesia dapat diperbaiki dengan menyeimbangkan skema dan isi. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A. etnomatematika lebih bernuansa teori dan dapat digunakan sebagai alat inovasi pembelajaran. Hal tersebut lebih tertuju pada isi sehingga isi dapat ditingkatkan dengan inovasi pembelajaran. Isi berkaitan dengan ilmu, pemikiran, dan teori dalam pendidikan matematika. Sedangkan skema dapat diwadahi dalam jurnal di bidang matematika atau sejenisnya. Oleh karena itu, diharapkan melalui etnomatematika khususnya dengan adanya inovasi pembelajaran dapat turut berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.