Nuraida Lutfi Hastuti, NIM 11301241031
Prodi Pendidikan Matematika
Prodi Pendidikan Matematika
FMIPA UNY
Mahasiswa merupakan pembelajar yang
dituntut untuk lebih mandiri daripada siswa di sekolah. Hal tersebut yang
selalu ditekankan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. selaku pengampu mata kuliah
Filsafat di Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA, UNY. Pada pertemuan hari
Rabu, 15 Oktober 2014 beliau kembali memaparkan tentang kemandirian mahasiswa
yang diperlukan dalam belajar terutama dalam belajar filsafat. Tulisan ini
merupakan refleksi dari penulis yang terinspirasi dari kuliah Filsafat pada
pertemuan hari itu.
Pada pertemuan sebelumnya Bapak Marsigit
telah menerangkan bahwa belajar filsafat itu tidak perlu gengsi. Belajar
filsafat tidak perlu susah-susah mencari buku-buku yang tebal atau buku yang terasa
berat dibaca. Hal tersebut karena beliau telah menyediakan media pembelajaran
yang lebih ringan untuk belajar filsafat bagi mahasiswa yaitu melalui
tulisan-tulisan beliau di blog (internet). Bapak Marsigit telah memberikan
kemudahan. Kemudian tinggal kesadaran mahasiswa untuk aktif mencari ilmu dengan
membaca tulisan-tulisan beliau. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam belajar
filsafat diperlukan kemandirian mahasiswa itu sendiri.
Setelah mahasiswa membaca suatu tulisan
(elegi), tentunya mahasiswa tidak langsung paham tetapi kemungkinan ada hal-hal
yang belum dipahami. Hal tersebut menimbulkan keingintahuan mahasiswa sehingga
memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan itu
dapat diketahui bahwa mahasiswa telah berikhtiar untuk mencari ilmu sendiri.
Kemudian untuk mendapat jawaban, mahasiswa dapat membaca kembali tulisan Bapak
Marsigit atau ditanyakan langsung kepada beliau ketika perkuliahan. Bapak
Marsigit menghimbau agar pertanyaan-pertanyaan yang muncul merupakan pertanyaan
yang layak untuk ditanyakan. Mahasiswa sebaiknya tidak sembarangan membuat
pertanyaan karena pertanyaan bisa saja salah.
Pada pertemuan hari itu, ada sebuah
pertanyaan dari mahasiswa yaitu “mengapa ada dan tiada itu ada”. Bapak Marsigit
mengatakan bahwa pertanyaan tersebut lebih tepat jika bunyinya “mengapa tiada
itu ada?”. Setelah itu beliau menjawab pertanyaan dengan contoh yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Contoh tersebut yaitu ketika kita diundang untuk menghadiri
sebuah acara tetapi ternyata kita tidak bisa datang. Kejadian tersebut
menunjukkan bahwa kita tidak ada di acara tersebut tetapi sebenarnya kita ada
di rumah atau di tempat lain. Dalam filsafat, tiada itu ada. Ketika kita tidak
ada sebenarnya kita ada tetapi berbeda ruang dan waktu.
Selain itu, ada pertanyaan “siapa
dirimu?”. Bapak Marsigit menjelaskan bahwa diri sendiri belum tentu memahami
diri sendiri apalagi orang lain. Selanjutnya persoalan dalam filsafat
sesungguhnya ada dua. Pertama, bagaimana kita memahami filsafat itu sendiri
maupun hal lain. Kedua, kita memiliki sesuatu dalam pikiran kemudian bagaimana
kita menjelaskan hal tersebut kepada orang lain.
Pertanyaan lain yaitu “Apakah filsafat cocok
untuk anak-anak?”. Bapak Marsigit menerangkan bahwa filsafat tidak cocok untuk
anak-anak. Hal yang cocok untuk anak-anak yaitu hasil dari filsafat atau
kebijakan bagi anak-anak. Mahasiswa harus dapat berpikir lebih luas dan
menyeluruh.
Bapak Marsigit menekankan bahwa dalam
belajar filsafat, mahasiswa tidak bisa mengharapkan ceramah langsung dari
beliau. Mahasiswa harus membaca terlebih dahulu kemudian dalam pertemuan pada
perkuliahan, mahasiswa dan Bapak Marsigit saling bertukar pikiran. Mahasiswa
mencari sendiri dan memperoleh pemahamannya sendiri. Hal tersebut dikarenakan
filsafat itu berada dalam diri mahasiswa itu sendiri.
Selanjutnya masih ada
beberapa pertanyaan lagi dari mahasiswa kemudian dijawab dan dijelaskan oleh
Bapak Marsigit. Dari perkuliahan hari itu, hal yang penting dalam belajar filsafat
yaitu memperoleh pengetahuan sendiri dari membaca dan memunculkan pertanyaan.
Setelah itu, perlu ada proses bertukar pikiran dengan orang yang sudah ahli. Penulis
dapat menyimpulkan bahwa dalam belajar filsafat diperlukan kemandirian
mahasiswa itu sendiri. Hal tersebut merupakan wujud ikhtiar dalam mencari ilmu
karena sebenarnya filsafat itu ada dalam diri sendiri.