Dia begitu sempurna. Ya, setidaknya dia paling baik di mataku dan di mata orang lain, di sini. Kata-katanya cukup untuk merobohkan hati. Suaranya bagai petir yang begitu tegas dan berani. Namun, di balik itu, ada kelembutan yang tersirat.
Ah, entahlah ... Aku tetap akan menyebut dia sempurna. Sampai-sampai tidak sampai aku padanya. Sudah kucoba bertahan dengan silaunya. Namun, bagiku yang memiliki keterbatasan dalam melihat, aku tak sanggup lama-lama dekat dengannya. Tak apa, dia akan tetap sempurna meski di sini ada aku yang serba tak lengkap.
Apakah membenci itu? Apakah aku membencinya? Padahal dia begitu baik, sangat baik. Ya Allah, aku ingin mengembalikan dia padamu saja. Atau tempatkan dia ke dunianya. Aku ingin menyerah, setiap kali melihat dia.
Adakah orang lain yang juga merasa demikian?
^_^ Mari perbaiki diri
Aku ingin merasakan lelah menyerah hingga yang tersisa adalah satu, yaitu bangkit.
Sudah cukuplah melihat dia, dia, dan dia. Sudah cukup waktu untuk melihat dia. Yang tersisa saat ini adalah hikmah dari melihat dia. Tentang kelemahan dan kekurangan diriku yang masih begitu banyak. Dengan melihat dia, aku tahu bahwa aku masih harus banyak belajar. Itu intinya.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui (QS. 2:216)
Rabu, 26 November 2014
Selasa, 04 November 2014
BELAJAR FILSAFAT IBARAT IKAN DI LAUT
Oleh:
Nuraida Lutfi Hastuti, NIM 11301241031
Jurusan Pendidikan
Matematika, FMIPA UNY
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan tersebut
terletak pada satu hal yaitu akal. Akal tersebut yang membedakan manusia dengan
makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Tentunya Tuhan pasti memiliki alasan mengapa
manusia diberi akal. Manusia memiliki tugas penting bagi kehidupan di bumi yaitu
sebagai khalifah yang menjaga bumi. Oleh sebab itu, manusia dapat menggunakan
akalnya untuk berpikir bagaimana menjaga bumi. Dengan akal tersebut manusia
akan berusaha untuk mengenal bumi dan segala sumber dayanya serta cara
memanfaatkan dan mengelolanya untuk kehidupan.
Berdasarkan
hal di atas, manusia perlu mengetahui banyak hal yang ada di bumi. Sejak zaman
dahulu manusia telah mempelajari berbagai hal sehingga terciptalah ilmu-ilmu
pengetahuan. Semua itu tidak terlepas dari proses belajar manusia. Kemudian ilmu-ilmu
tersebut akan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Dengan demikian, generasi
selanjutnya pun juga akan mengalami proses belajar. Selain itu, akibat dari
adanya proses belajar akan menimbulkan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan.
Mahasiswa
merupakan pemuda yang akan menjadi generasi penerus. Selain itu, kehidupan
mahasiswa tidak terlepas dari aktivitas untuk mencari ilmu. Hal ini menunjukkan
bahwa mahasiswa juga mengalami proses belajar. Belajar bagi mahasiswa merupakan
kegiatan sehari-hari sehingga sudah menjadi hal yang sewajarnya. Ilmu yang
dicari pun sesuai dengan bidang dan jurusan mahasiswa tersebut.
Selain
mempelajari ilmu yang sesuai dengan bidang dan jurusannya, mahasiswa juga mempelajari
ilmu lain yang turut mendukung. Misalnya penulis yang merupakan mahasiswa
Jurusan Pendidikan Matematika UNY. Pada semester ini penulis mendapatkan mata
kuliah Filsafat. Tentunya ilmu tersebut ada hubungannya dengan ilmu matematika
yang penulis pelajari. Penulis menyadari bahwa belajar bukan hanya fokus kepada
ilmu di bidangnya tetapi juga yang berkaitan dengan ilmu di bidang lain. Hal
tersebut dikarenakan ilmu tidak bisa berdiri sendiri, juga karena suatu ilmu
dapat digunakan dalam berbagai bidang.
Ada
berbagai cara untuk mempelajari ilmu baru. Misalnya dalam mata kuliah Filsafat ini,
Prof. Dr. Marsigit, M.A. selaku dosen pengampu menggunakan metode yang berbeda
dari perkuliahan biasanya yaitu kuliah on-line.
Dalam perkuliahan ini ada pertemuan secara langsung di kelas dan yang utama
adalah melalui internet. Setiap hari mahasiswa dianjurkan untuk membaca artikel
yang ada di blog Bapak Marsigit. Artikel-artikel tersebut berisi segala sesuatu
mengenai filsafat. Selain itu, mahasiswa juga dapat saling bertukar pikiran
dengan memberikan komentar.
Hal
di atas dianalogikan dengan ikan yang hidup di laut. Ikan perlu mendeteksi air
di sekitarnya (lingkungan tempat hidupnya). Ikan juga perlu meningkatkan
sensitivitasnya dalam mendeteksi. Seperti mahasiswa dalam belajar. Mahasiswa
perlu mencari dan membangun sendiri pengetahuan dalam dirinya. Mahasiswa juga
perlu meningkatkan aktivitas belajarnya untuk mendapat pengetahuan tersebut
baik di bidangnya maupun bidang lain. Oleh sebab itu, Bapak Marsigit
menganalogikan mahasiswa yang belajar filsafat seperti ikan di laut.
Analogi
tersebut diungkapkan oleh Bapak Marsigit pada perkuliahan hari Rabu, 29 Oktober
2014. Selanjutnya beliau menjelaskan beberapa hal. Hal-hal yang penting
dituliskan di papan tulis sehingga mahasiswa memiliki gambaran terhadap
penjelasan beliau. Berikut ini merupakan rangkuman dari penjelasan beliau.
Belajar
itu dimulai dari yang sederhana. Penulis menangkap bahwa belajar dimulai dari
hal-hal yang dasar dan tidak muluk-muluk (tinggi). Menguasai konsep dasar itu
penting karena akan digunakan untuk selanjutnya (konsep-konsep lain). Selain
itu, belajar itu harus dengan nyaman. Penulis mengartikan bahwa kita belajar
untuk mencari ilmu, utamanya adalah untuk membangun pengetahuan dalam diri kita
sendiri. Oleh sebab itu, diri kita harus merasa nyaman agar dapat beraktivitas
dengan baik agar ilmu dapat terserap (kita pahami) dengan baik. Setiap orang
pasti memiliki cara belajar yang berbeda sehingga kondisi yang nyaman itu harus
kita ciptakan sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Hal
tersebut ada kaitannya ketika belajar filsafat. Filsafat merupakan ilmu baru
bagi kami (mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika). Dengan demikian, kami
perlu menyesuaikan diri agar nyaman dalam belajar dan juga belajar dari hal-hal
yang kecil terlebih dahulu. Layaknya ikan, kami harus mencari pengetahuan
sendiri melalui media yang telah dibuat oleh Bapak Marsigit di internet (blog).
Selanjutnya
Bapak Marsigit menyampaikan bahwa segala persoalan dalam filsafat itu fokusnya
yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Kemudian kita eksplor sifatnya yaitu tetap
dan berubah. Misalnya dalam diri kita yang tetap adalah roh. Hal yang tetap
contohnya kita adalah ciptaan Tuhan dan selamanya ciptaan Tuhan. Hal yang bisa
tetap dan berubah contohnya adalah makan dan bernapas. Tokoh dalam sifat tetap
adalah Permenides. Tokoh dalam sifat berubah adalah Heraklitos.
Hal
yang tetap berada dalam pikiran. Tokohnya adalah Plato sehingga disebut juga
Platonisme. Sifatnya adalah ideal. Sedangkan hal yang berubah berada di luar
pikiran. Tokohnya adalah Aristoteles sehingga disebut juga Aristotelenisme.
Sifatnya adalah realistis.
Bapak Marsigit
mengembangkan lagi sifat-sifat yang tetap dan berubah seperti pada tabel
berikut.
TETAP
|
BERUBAH
|
Berdasarkan rasionalisme
Tokohnya R. Decrates
|
Berdasarkan pengalaman
Tokohnya D. Hume
|
Formal
|
Normatif
|
Berlaku hukum identitas
A = A
Subyek memuat predikat: S ≠ P
Sifatnya tautologi
|
Berlaku hukum kontradiktif
A ≠ A
S = P
|
Kebenaran bersifat konsistensi
|
Kebenaran bersifat korespondensi
|
Analitik
|
Sintetik
|
Apriori:
belum dilaksanakan tetapi sudah ditulis. Contoh proposal penelitian
|
Aposteriori:
bisa dipikirkan setelah melihat bendanya.
|
Tidak terikat ruang dan waktu.
4 = 4 berada di pikiran sehingga pasti benar, jika diucapkan akan
menjadi salah karena 4 berbeda dengan 4.
|
Terikat ruang dan waktu.
Aku ≠Aku
4 ≠ 4
4 di kiri berbeda dengan 4 di kanan
Misal 4 di kiri terbuat dari kawat sedangkan 4 di kanan terbuat dari
tepung.
|
Dari masing-masing sifat tersebut diperoleh:
|
|
Matematika numerik atau matematika vertikal.
|
Matematika anak-anak atau matematika sekolah atau matematika horisontal.
|
Dari
uraian di atas didapat bahwa hal yang tetap dengan segala sifatnya merupakan
matematika numerik atau bisa juga disebut matematika formal. Sedangkan hal yang
berubah dengan segala sifatnya merupakan matematika sekolah. Dengan demikian, matematika
formal dan matematika sekolah memiliki perbedaan dan pertentangan. Menurut
Immanuel Kant, tidak mungkin memperoleh pengetahuan tanpa rasio dan pengalaman.
Rasio bagian dari matematika formal dan pengalaman bagian dari matematika
sekolah. Oleh sebab itu, kedua hal tersebut sama-sama penting dan dibutuhkan.
Berdasarkan
penjelasan dari Bapak Marsigit, dapat diketahui bahwa terjadi kesenjangan
antara matematika formal dengan matematika pada anak-anak. Setelah mengetahui
hal tersebut, diharapkan mahasiswa yang merupakan calon pendidik dapat mencari
solusi untuk membelajarkan matematika kepada peserta didik.
Kembali
kepada analogi ikan. Mahasiswa yang sedang belajar filsafat ibarat ikan di
laut. Mahasiswa juga berada di laut dengan bermacam-macam hal yang terdeteksi.
Hal tersebut yaitu kapitalisme, hedonisme, materialisme, pragmatisme,
liberalisme, realis, idealis, dan dualis. Hal itu merupakan tantangan eksternal
bagi mahasiswa dalam kehidupan modern. Tantangan internal yaitu sifat
matematika dan juga sifat mahasiswa itu sendiri. Dengan bekal ilmu dari
perkuliahan ini, semoga mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika dapat menjadi
pendidik yang profesional, inovatif, dan inspiratif.
Langganan:
Postingan (Atom)