Oleh Nuraida Lutfi Hastuti, NIM
11301241031
Prodi Pendidikan Matematika, FMIPA UNY
LANDASAN TEORI
A.
Matematika
Matematika secara etimologi berasal dari bahasa latin manthanein atau mathemata
yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Menurut Steen dalam Presmeg
(1998) matematika merupakan ilmu yang memiliki pola dan urutan dengan ruang
lingkup yang luas dan mempertimbangkan abstraksi dan generalisasi. Menurut
Prof. Dr. Andi Hakim Nasution (http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-matematika-menurut-ahli.html), matematika adalah ilmu struktur, urutan
(order), dan hubungan yang meliputi dasar-dasar perhitungan, pengukuran, dan
penggambaran bentuk objek. Susilo mengatakan bahwa matematika bukanlah sekedar
kumpulan angka, simbol, dan rumus yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.
Justru sebaliknya, matematika tumbuh dan berakar dari dunia nyata.
Menurut Gates & Vistro dalam Thomas Varghese & Daniel P. (2006)
konsep matematika adalah refleksi dari budaya dan sosial ekonomi dari suatu
wilayah tertentu. Dengan demikian, matematika merupakan ilmu yang terstruktur
dan tidak jauh dari realitas kehidupan
maupun budaya manusia.
B.
Pembelajaran Matematika
Matematika umumnya dipelajari oleh siswa di sekolah sebagai suatu mata
pelajaran. Hal yang demikian merupakan pembelajaran matematika secara formal.
Dalam pembelajaran matematika di sekolah, siswa belajar mengenai konsep
matematika. Pembelajaran tersebut lebih tertuju pada penggunaan rumus
matematika dan operasi hitung. Sedangkan penerapan konsep dan rumus matematika
dalam kehidupan sehari-hari masih kurang. Oleh karena itu, matematika menjadi
sulit dipelajari karena siswa tidak dapat mengaitkan matematika dengan
kehidupan sehari-harinya.
Selain pembelajaran matematika formal terdapat permbelajaran matematika
informal. Matematika informal dapat diartikan sebagai praktik matematika secara
informal yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat tanpa
batasan sejarah dan geografis namun erat kaitannya dengan budaya (http://en. wikipedia.org/wiki/Informal_mathematics). Dengan demikian, pembelajaran
matematika informal merupakan praktik dari matematika yang terdapat dalam
kehidupan nyata dan budaya masyarakat.
D’Ambrosio dalam Thomas Varghese & Daniel P. (2006) menyatakan bahwa
anak-anak memperoleh pengetahuan matematika dari budaya mereka sejak usia muda.
Namun, ketika mereka mulai bersekolah, pengetahuan tersebut digantikan oleh
pengetahuan sekolah yang lebih bernilai dengan adanya sistem. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara pembelajaran matematika informal dan
pembelajaran matematika formal. Dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak
terlepas dari matematika misalnya penggunaan operasi hitung. Pengalaman dan
pengetahuan matematika siswa dalam kehidupan sehari-hari merupakan matematika
informal. Hal tersebut menjadi bekal ketika siswa berada di sekolah dalam pembelajaran
matematika formal. Oleh karena itu, diperlukan penghubung antara pembelajaran
matematika informal dengan matematika formal.
C.
Etnomatematika
Istilah etnomatematika pertama kali digunakan pada tahun 1930-an yang
mencerminkan perubahan konsepsi umat manusia dalam antropologi dan disiplin
ilmu lainnya (Swapna Mukhopadhyay & Brian Greer). Gerakan etnomatematika dimulai dengan
pembentukan International Study Group on
Ethnomathematics pada tahun 1985 pada pertemuan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) di San Antonio,
Texas di bawah pimpinan pendirinya yaitu seorang matematikawan dan filosof, Dr.
Ubiratan D’Ambroiso. Istilah etnomatematika digunakan oleh D’Ambroiso dalam
banyak tulisan dan pidatonya untuk menjelaskan adanya hubungan antara praktik budaya
dalam kaitannya dengan pengembangan dan penggunaan ide atau konsep matematika
(Eduardo Jesus Arismendi-Pardi, 2001).
Menurut Gates & Vistro dalam Thomas Varghese & Daniel P. (2006) ide
etnomatematika dikembangkan untuk menggabungkan pandangan yang lebih luas
tentang matematika yang berkaitan dengan dunia nyata. John dalam Mohammed W. Z.
& Ibrahim S. (2010) menyatakan bahwa etnomatematika merupakan studi teknik
matematika dengan menggunakan identifikasi kelompok budaya dalam pemahaman,
penjelasan, dan pengelolaan masalah yang timbul dari diri mereka sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etnomatematika
merupakan kajian budaya untuk mengidentifikasi unsur-unsur matematika yang
terdapat dalam budaya tersebut yang dapat digunakan dalam pendidikan atau
pembelajaran matematika.
Etnomatematika mengacu pada bentuk pengetahuan budaya atau karakteristik
kegiatan sosial atau budaya yang dapat diakui oleh kelompok lain (Louis dalam
Mohammed W. Z. & Ibrahim S., 2010 ). Dalam hal ini, budaya setiap
masyarakat di suatu tempat berbeda dengan budaya masyarakat lain namun tetap
diakui. Hal-hal yang termasuk ke dalam budaya yaitu bahasa daerah, cara
berpikir masyarakat, karya sastra, adat istiadat, peninggalan atau artefak, dan
permainan tradisional. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammed W. Z. &
Ibrahim S. pada tahun 2010 dengan judul Ethnomathematics
(A Mathematical Game in Hausa Culture)
menunjukkan bahwa dalam budaya Hausa dari Nigeria Utara terdapat permainan yang
mengandung unsur matematika.
Dalam penelitian ini penulis mengambil salah satu contoh permainan
tradisional yaitu permainan Congklak (Dakon) karena merupakan bagian budaya
yang dapat penulis temukan dalam budaya daerah penulis yaitu dari budaya Jawa.
D.
Permainan Congklak (Dakon)
Dakon seperti yang dijelaskan oleh Murray (1952), Deledicq & Popova
(1977), dan Russ (2000) dikenal sebagai Sungka di Filipina,
Conka/Congka/Congklak di Indonesia (http://www.fdg.unimaas.nl/educ/donkers/games/Dakon/). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Dakon
merupakan bagian dari kelompok besar permainan mancala yang dimainkan di Asia
Tenggara.
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt dalam makalah yang
berjudul Mancala Games – Topics in Mathematics and Artificial Intelegence
mengatakan bahwa permainan mancala merupakan permainan yang menggunakan papan
yang dimainkan hampir di seluruh dunia dengan berbagai variasi. Beberapa
permainan yang termasuk ke dalam permainan mancala yaitu Tchoukailalon, Tchuka
Ruma, Dakon, Bao, Kalah, dan Awari (lebih detilnya dapat dilihat di buku Murray
(1952) dan Russ (2000)).
Dakon dimainkan oleh dua orang dengan papan yang memiliki 8 lubang (1
lubang utama dan 7 lubang kecil) untuk masing-masing pemain dan berisi batu
atau benda kecil. Permainan ini terdiri dari beberapa babak. Permainan
dilakukan dengan mengisi lubang dengan batu satu per satu. Jika pemain tidak
dapat mengisi lubang lagi maka berganti giliran dengan pemain lain. Permainan
berakhir ketika sudah tidak ada batu pada lubang kecil. Pemenangnya adalah
pemain yang memiliki batu lebih banyak.
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt menemukan bahwa permainan
dakon dapat ditemukan solusinya dengan menggunakan komputer (Donkers dalam
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de Voogt). Hal tersebut menunjukkan
bahwa terdapat algoritma dan perhitungan matematis untuk mengetahui urutan
permainan dakon dan dapat dianalisis cara pemain menentukan urutan.
Dalam Wikipedia Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Congklak) disebutkan bahwa permainan congklak
dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang
dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji
congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari
kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari
cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan
congklak terdapat 16 buah lubang
yang terdiri atas 14 lobang kecil yang saling
berhadapan dan 2 lubang besar
di kedua sisinya. Setiap 7 lubang
kecil di sisi pemain dan lubang
besar di sisi kanannya
dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang
berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu
ke lubang di sebelah kanannya
dan seterusnya. Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji
tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat
melanjutkan dengan memilih lubang
kecil di sisinya. Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan
mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lubang
kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa. Permainan dianggap selesai bila sudah
tidak ada biji lagi yang dapat dimabil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya
adalah yang mendapatkan biji terbanyak.
E.
Daftar Pustaka
Anonim. Congklak. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Congklak pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 07. 55 WIB.
_______. (2013). Informal Mathematics. Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Informal_mathematics pada tanggal 4 Maret 2013, pukul 21.50
WIB.
_______. (2014). Pengertian Matematika Menurut Ahli. Diakses dari http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-matematika-menurut-ahli.html pada tanggal 4 Maret 2014, pukul 22.00
WIB.
Eduardo Jesus Arismendi-Pardi. (2001).
Ethnomathematics: An Alternative Approach to The Practice of Teaching and
Learning. Makalah. Washington.
Jeroen Donkers. Dakon. Diakses
dari http://www.fdg.unimaas.nl/educ/ donkers/games/Dakon/ pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 07.00
WIB.
Jeroen Donkers, Jos Uiterwijk, dan Alex de
Voogt. Mancala Games – Topics in
Mathematics and Artificial Intelegence. http://www.academia.edu/
2543117/Mancala_games__Topics_in_Mathemathics_and_Artificial_Intelligence?login=&email_was_taken=true pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 07.10
WIB.
Mohammed W. Y. & Ibrahim S. (2010). Ethnomathematics
(A Mathematical Game in Hausa Culture). International
Journal of Mathematical Science Education. Vol. 3, No. 1. Hlm. 36-42.
Norma C. Presmeg. (1998). Ethnomathematics
in Teache Education. Journal of
Mathematics Teacher Education. 1. Hlm. 317-339.
Swapna
Mukhopadhyay & Brian
Greer. Can
Ethnomathematics Enrich Mathematics Education?. Prosiding, epiSTEME 5. India.
Thomas Varghese & Daniel P. (2006). On
Globalization and Ethnomathematics. Canadian
and International Education/Education canadienne et internationale. Hlm.
1-11.